Setiap bisnis keluarga pasti memiliki cerita unik tentang bagaimana mereka menghadapi perubahan zaman, salah satunya adalah pandemi COVID-19 yang telah mengubah wajah bisnis di seluruh dunia. Sebuah studi menarik menunjukkan bahwa generasi pendiri bisnis keluarga memiliki tingkat inovasi paling tinggi selama pandemi, dengan sekitar 38% dari penjualan dihasilkan dari inovasi terbaru yang merespons kondisi pasar. Namun, angka ini menurun ketika bisnis berpindah ke tangan generasi kedua, ketiga, dan seterusnya.
Dalam sebuah keluarga bisnis, sering kali generasi pertama yang mendirikan usaha memiliki semangat kewirausahaan tinggi. Mereka berani mengambil risiko dan menghadapi tantangan baru untuk kelangsungan usaha. Namun, semangat ini cenderung menurun di generasi berikutnya, bukan karena kurang kompetensi tetapi lebih pada adanya sikap berhati-hati dan keinginan untuk menjaga apa yang sudah ada.
Cerita ini tidak jarang berlanjut dengan munculnya berbagai konflik keluarga yang berimbas pada kinerja bisnis. Perselisihan internal sering kali disebabkan oleh perbedaan pandangan tentang arah bisnis, peran masing-masing anggota keluarga, hingga pengelolaan kompensasi dan manfaat yang adil. Banyak bisnis keluarga yang mengalami stagnasi bahkan keretakan karena konflik internal yang dibiarkan tanpa solusi.
Namun, konflik tidak selalu buruk. Dalam beberapa kasus, konflik justru bisa menjadi katalis positif jika dikelola dengan benar. Misalnya, keluarga bisnis yang sukses adalah mereka yang mampu melihat konflik sebagai peluang untuk saling belajar dan berkembang. Mereka yang berhasil cenderung memiliki sistem yang jelas untuk memisahkan antara urusan keluarga dan bisnis. Mereka membuat forum keluarga untuk mendiskusikan isu pribadi dan bisnis secara terpisah, dengan tujuan agar keputusan bisnis tidak tercampur dengan emosi pribadi yang dapat memperkeruh suasana.
Salah satu kunci penting dalam mengelola konflik bisnis keluarga adalah komunikasi yang terbuka. Generasi senior dan generasi muda harus aktif dalam berkomunikasi. Senior perlu secara jelas menyampaikan harapan dan visi mereka terhadap bisnis, sementara generasi muda harus berani menyampaikan ide-ide segar dan pemikiran inovatif mereka. Dengan komunikasi yang transparan, masing-masing pihak akan lebih memahami harapan dan kekhawatiran satu sama lain, sehingga bisa tercapai keselarasan tujuan bersama.
Selain komunikasi, bisnis keluarga juga perlu mendorong semangat inovasi di kalangan generasi muda dengan memberikan ruang untuk bereksperimen. Ide-ide baru dari generasi penerus harus mendapatkan dukungan penuh, baik secara moril maupun finansial, sehingga mereka merasa dihargai dan termotivasi untuk terus berinovasi.
Dalam hal tata kelola perusahaan, sangat penting untuk menyeimbangkan antara tradisi keluarga dan prinsip profesionalisme. Kehadiran dewan direksi independen yang mampu memberikan pandangan objektif sangat membantu dalam membuat keputusan bisnis yang lebih transparan, profesional, serta bebas dari bias emosional keluarga.
Menghadapi tantangan ini, bisnis keluarga yang berhasil bertahan dan berkembang biasanya memiliki sistem yang baik untuk mengatur transisi generasi. Mereka tidak hanya menyiapkan penerus secara teknis tetapi juga membangun karakter kewirausahaan, profesionalisme, dan keterampilan komunikasi yang mumpuni sejak awal. Bisnis keluarga yang mampu bertahan hingga ratusan tahun biasanya adalah yang memiliki fleksibilitas tinggi dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan zaman tanpa melupakan akar tradisi dan nilai-nilai keluarganya.
Menjaga warisan bisnis keluarga memang tidak mudah, namun dengan kesadaran penuh akan tantangan yang ada dan solusi yang tepat, setiap generasi dalam bisnis keluarga bisa memberikan kontribusi terbaik mereka demi masa depan bersama yang lebih kuat dan cerah.
Oleh Dr. Dwitya Agustina, ST, MBA
Family Business Center of Indonesia – ESQ Business School
Bisnis keluarga Anda menghadapi tantangan yang sama? Mari berbagi kisah dan saling menginspirasi di kolom komentar di bawah ini!