Sebaliknya, angka perceraian justru meningkat tajam. Pada tahun 2021, tercatat lebih dari 447.000 kasus perceraian, melonjak pada 2022 hingga melampaui 500.000 kasus, dan meski sedikit menurun pada 2023, jumlahnya tetap lebih tinggi dibandingkan tahun 2021 dengan 463.000 kasus (Badan Pusat Statistik, 2024). Statistik ini menggambarkan kenyataan sosial yang tak bisa diabaikan, terutama bagi keluarga yang memiliki bisnis.

 

Bayangkan sebuah keluarga pemilik usaha properti bernama Nusantara Land. Selama lebih dari 25 tahun, perusahaan ini dibangun oleh pasangan suami-istri, Pak Surya dan Bu Itje. Keduanya adalah tim yang solid; Pak Surya fokus pada pembangunan, sementara Bu Itje mengelola keuangan dan membangun relasi dengan klien. Berkat kerja sama itu, Nusantara Land menjelma menjadi salah satu pengembang terpercaya di kotanya. Namun, di balik kesuksesan tersebut, rumah tangga mereka retak. Setelah bertahun-tahun bertahan dalam konflik, akhirnya perceraian tidak terelakkan. Saat itu, bisnis pun terguncang hebat. Saham perusahaan yang selama ini mereka miliki bersama harus dibagi, para karyawan terjebak dalam dilema apakah harus berpihak kepada Pak Surya atau Bu Itje, dan anak-anak yang sebelumnya tenang belajar bisnis kini bingung hendak mengikuti siapa dalam kepemimpinan. Apa yang semula menjadi sumber kekuatan berubah menjadi sumber ketidakpastian.

Teori Three Circle of Family Business membantu kita memahami kompleksitas ini (Tagiuri & Davis, 1996). Perceraian membuat lingkaran keluarga retak, memunculkan kubu ayah dan ibu. Lingkaran kepemilikan ikut terguncang, karena saham yang semula terpusat kini terpecah dan berisiko jatuh ke tangan pihak luar. Lingkaran bisnis pun kehilangan kestabilan, sebab operasional perusahaan terseret dalam konflik personal. Di titik tengah, yang seharusnya menjadi ruang harmoni dan socioemotional wealth, justru lahir ketidakpastian dan hilangnya rasa kebersamaan.

Tantangan yang muncul akibat perceraian dalam bisnis keluarga sangat nyata. Struktur kepemilikan saham menjadi rapuh ketika aset marital dibagi, memunculkan risiko fragmentasi dan menurunnya kepercayaan investor maupun karyawan. Kepemimpinan perusahaan pun bisa terbelah; sebagian direksi dan karyawan cenderung berpihak kepada ayah, sebagian lainnya kepada ibu. Jika salah satu pasangan adalah figur kunci, misalnya CEO atau CFO, maka perceraian berpotensi memaksa restrukturisasi mendadak yang berimplikasi besar pada arah strategi perusahaan (Gersick et al., 1997). Hubungan antar generasi pun tak kalah pelik. Anak-anak dapat terbagi kubu, saudara kandung ikut terseret dalam konflik horizontal, bahkan keluarga ipar yang semula menjadi bagian dari jaringan bisnis bisa menjauh. Pada akhirnya, perceraian menyisakan trauma emosional yang berkepanjangan, sementara bisnis dituntut tetap berjalan normal.

Kisah Rupert Murdoch menjadi contoh nyata bagaimana perceraian dapat memperumit governance dalam bisnis keluarga global. Pendiri News Corp dan Fox ini mengalami beberapa kali perceraian, dan setiap perceraian membawa konsekuensi besar pada struktur kepemilikan saham serta arah perusahaan. Anak-anak dari pernikahan berbeda ikut masuk dalam lingkaran suksesi, memicu konflik internal mengenai siapa yang berhak memimpin (Chong, 2020). Kompleksitas itu akhirnya ditangani melalui mekanisme formal seperti trust dan voting agreements demi menjaga stabilitas bisnis. Pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa tanpa governance formal, konflik personal mudah sekali menenggelamkan kapal besar bernama bisnis keluarga.

Menyadari besarnya risiko, keluarga pemilik bisnis perlu menyiapkan strategi sejak dini. Tata kelola korporasi harus diperkuat dengan pemisahan yang jelas antara aset keluarga dan aset perusahaan. Perjanjian pranikah maupun postnuptial dapat menjadi langkah preventif, sementara peran dewan direksi dan komisaris independen menjadi penting untuk menjaga netralitas (Lambrecht & Lievens, 2008). Di sisi lain, tata kelola keluarga juga harus dipertegas melalui Family Constitution yang mengatur hak dan kewajiban anggota keluarga, mekanisme pembagian dividen, hingga protokol jika terjadi perceraian (Suess, 2014). Dewan keluarga dapat berfungsi sebagai forum penyelesaian konflik, sehingga persoalan personal tidak merembet ke ruang usaha. Selain itu, pendekatan emosional dan sosio-psikologis juga tidak boleh diabaikan. Konseling keluarga, mediasi pihak ketiga, dan komunikasi yang sehat dapat membantu mengurangi luka emosional dan mencegah konflik menyeret generasi penerus maupun karyawan (Danes et al., 2000).

Pada akhirnya, perceraian mungkin memisahkan dua hati, tetapi tidak seharusnya menghancurkan bisnis keluarga yang dibangun dengan kerja keras lintas generasi. Seperti kata sebuah ungkapan, “Divorce does not only mean separation or dividing assets; it can divide loyalties, weaken leadership, and threaten the very sustainability of the family business.” Governance yang kokoh, baik di level keluarga maupun korporasi, adalah jembatan yang memungkinkan warisan dan keberlangsungan bisnis tetap terjaga meskipun badai rumah tangga menerpa.

Referensi

  • Badan Pusat Statistik. (2024). Statistik perkawinan dan perceraian di Indonesia 2021–2023. BPS.
  • Chong, T. (2020). Family feuds and fortunes: Governance in global family businesses. Routledge.
  • Danes, S. M., Rueter, M. A., Kwon, H. K., & Doherty, W. (2000). Family FIRO model: An application to family business. Family Business Review, 13(4), 313–339. https://doi.org/10.1111/j.1741-6248.2000.00313.x
  • Gersick, K. E., Davis, J. A., Hampton, M. M., & Lansberg, I. (1997). Generation to generation: Life cycles of the family business. Harvard Business School Press.
  • Lambrecht, J., & Lievens, J. (2008). Pruning the family tree: An unexplored path to family business continuity and family harmony. Family Business Review, 21(4), 295–313. https://doi.org/10.1177/08944865080210040103
  • Suess, J. (2014). Family governance—Literature review and the development of a conceptual model. Journal of Family Business Strategy, 5(2), 138–155. https://doi.org/10.1016/j.jfbs.2014.02.001
  • Tagiuri, R., & Davis, J. (1996). Bivalent attributes of the family firm. Family Business Review, 9(2), 199–208. https://doi.org/10.1111/j.1741-6248.1996.00199.x